Thursday, February 21, 2013

Kebudayaan Sumedang



Kebudayaan Sumedang

1.Masjid Besar Tegal kalong
Masjid Besar Tegal Kalong terletak di Jalan HajiSuleiman di wilayah Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan. Di sebelah timur masjid terdapat tanah lapang kecamatan yang sekarang menjadi taman, sebelah utara terdapat Pasar Inpres, sebelah barat pemukiman warga Kampung Kaum, dan sebalah barat merupakan pemukiman wilayah Kampung Sukaluyu. Secara astoronomis terletak pada 06º50’54,7” LS dan 107º55’37,8” BT. 
Tegal Kalong dalam sejarah Sumedang merupakan ibu kota kerajaan Sumedanglarang setelah dipindahkan dari Dayeuh Luhur pada tahun 1600-an. Pemindahan ini terjadi pada waktu R. Suriadiwangsa menggantikan ayahnya, Prabu Geusan Ulun. Setelah Kerajaan Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram Islam, tempat ini oleh R. Suriadiwangsa dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang. Sebagai kelengkapan kota seperti yang berlaku pada umumnya kota-kota masa Islam di Indonesia, R. Suriadiwangsa membangun masjid ini pada sekitar tahun 1600-an merupakan bangunan permanen berdenah segi empat berukuran 22 x 8 m. Ruang utama dilengkapi juga dengan pintu-pintu dan jendela-jendela. Masjid beratap tumpang yang disangga empat tiang utama atau saka guru dengan puncaknya dilengkapi dengan mustaka.  Selain ruang utama, masjid dilengkapi juga dengan teras dan tempat wudhu. Pada bagian masjid terdapat halaman yang dilengkapi dengan pagar keliling dengan dua pintu. Menurut keterangan dari pihak Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), semula masjid merupakan bangunan rumah panggung, dinding dari anyaman bambu atau bilik. Setidaknya masjid telah mengalami 5 kali pemugaran.
Selain masjid, di tempat ini terdapat tinggalan arkeologi – sejarah yang cukup penting, yaitu bekas Pendopo Kabupaten Sumedang. Bangunan pendopo tersebut terletak di dekat masjid. Bangunan yang mengalami perubahan dan penambahan bentuk ini sekarang difungsikan sebagai Kantor Camat Sumedang Selatan.
Salah  satu peristiwa sejarah yang cukup penting di masjid ini adalah ketika pada tahun 1786 terjadi serangan tentara Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Cilik Widara. Serangan dilakukan ketika Bupati dan para pejabat serta masyarakat sedang menjalankan shalat Hari Raya Idul Fitri yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Sumedang. Setelah peristiwa tersebut pusat pemerintahan dipindahkan ke pusat kota yang sekarang. Peristiwa yang memilukan tersebut juga berakibat lain adalah tabu bagi para bupati selanjutnya bila shalat Idul Fitri jatuh pada hari Jumat untuk shalat di ibu kota Sumedang.
Lokasi:  Jalan Haji Suleiman di wilayah Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan
Koordinat : 6° 50' 33" S, 107° 55' 23" E

2.Museum Prabu geusan Ulun
Museum Prabu Geusan Ulun terletak di Kompleks Pendopo Kabupaten Sumedang terletak di pusat Kota Sumedang. Kompleks ini semenjak Sumedang berdiri pada tahun 1705 hingga sekarang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten Sumedang. Kompleks yang didalamnya terdapat bangunan-bangunan tersebut berukuran seluas 1,8 ha dan dikelilingi dengan tembok setinggi tiga meter. Di dalam kompleks terdapat bangunan-bangunan yang cukup tua , yaitu Gedung Srimangati yang dibangun pada tahun 1706, Gedung Bumi Kaler (1850), dan Gedung Gendeng (1850). Selain itu, terdapat tiga gedunglainnya yang relatif baru, yaitu Gedung Gamelan (1973), Gedung Pusaka (1990), dan Gedung Kereta Naga Paksi (1996). 
Museum menempati Gedung Srimanganti. Gedung ini dibangun tahun 1706 oleh Bupati Dalem Adipati Tanumaja yang memindahkan pusat kota kabupaten dari Tegal Kalong ke tempat ini. Gedung Srimanganti merupakan bangunan permanen berdinding tembok. Berlantai tinggi dengan permukaan tegel dan pada bagian teras belakang bangunan dijumpai adanya tiang-tiang penyangga lantai kayu. Jendela-jendela berukuran cukup besar dengan bentuk segi empat dan melengkung atau kurva. Pintu-pintu berukuran cukup besar serta pada bagian atas daun pintu terdapat ventilasi yang dipenuhi hiasan floral. Juga dilengkapi tiang-tiang bangunan kokoh.
Gedung Srimanganti pada awalnya berfungsi sebagai kediaman resmi bupati dan keluarganya. Pada tahun 1950 samapai dengan 1982 dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1982 dipugar dan setelah dipugar difungsikan sebagai museum dengan nama Museum Prabu Geusan Ulun. Di dalam museum terdapat koleksi, antara lain Meriam Kalantaka, peninggalan Kompeni tahun 1656, gamelan Panglipur yang merupakan peninggalan Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633), gamelan Pangasih peninggalan Pangeran Kornel (1791 – 1828), dan gamelan Sari Arum peninggalan Pangeran Sugih (1836 – 1882). Di samping itu juga terdapat koleksi lainnya seperti tempat tidur Pangeran Kornel dan baju-baju kebesaran bupati masa lampau. 

Koordinat : 6° 51' 7" S, 107° 55' 13" E

3.Makam Embah Jayaperkosa
Embah Jayaperkosa adalah patih dari Prabu Geusan Ulun. Beliau tokoh yang cukup penting dalam masa peralihan kekusaan Kerajaan Sunda-Pajajaran ke Kerajaan Sumedanglarang. Beliaulah salah satu dari keempat kandaga lante yang mendukung sepenuhnya kekuasaan Prabu GeusanUlun. Sebagai panglima perang, beliau berjasa sekali dalam menghadapi konflik Kerajaan Sumedanglarang dan Kesultanan Cirebon. Dalam riwayat beliau ngahiang dan makamnya terdapat di puncak Gunung Rengganis. Makamnya banyak didatangi oleh para peziarah, bahkan di antara peziarah banyak yang menginap di makam beliau.
Makam Embah Jayaperkosa terdapat di sebelah selatan Desa Dayeuh Luhur dapat dicapai dengan jalan kaki melewati perkampungan warga dan melalui jalan menanjak berteras yang terbuat dari semen.  Sebelum mencapai ke puncak terdapat pintu gerbang dan dilengkapi dengan saung.  Sesampainya di puncak gunung terdapat makam Embah Jayaperkosa. Makam tersebut dikelilingi pagar kawat dengan pintu terdapat di sisi utara. Makam berupa batu tegak setinggi sekitar 180 cm yang dibungkus kain putih dan bagian bawah berupa bangunan segi empat dari semen dengan permukaan dilapisi keramik putih. Pada bagian luar makam terdapat bangunan yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan menginap para peziarah. Lingkungan sekeliling makam dipenuhi pohon bambu yang cukup lebat yang menjadikan tempat ini semakin sejuk dan tenang. Jika seseorang berdiri di tempat ini akan dapat melihat panorama berupa bentang alam dan daerah-daeah pemukiman di bawahnya terutama di bagian utara dan timur gunung. Apabila bendungan Jatigede terealisasi, dari tempat ini akan sangat jelas terlihat.
Makam Embah Jayaperkosa bukan merupakan tempat pemakamannya, tetapi sebagai tempat ngahyang-nya tokoh tersebut. Selain itu, dalam riwayat di tempat didirikannya menhir tersebut merupakan tempat jatuhnya sinar ghaib berwarna kekuningan pada waktu Prabu Tajimalela sedang menguji kesaktiannya berupa ilmu kasumedangan. Prabu Tajimalela merupakan pendiri kerajaan Tembong Agung yang berpusat di Leuwi Hideung, Darmaraja, Sumedang. Kerajaan tersebut adalah cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang yang berdiri pada abad ke-14-15 M. Di makam ini pula terdapat larangan yang harus dipatuhi oleh para peziarah, yaitu adanya larangan memakai pakaian bermotif batik. 

Lokasi:  Desa Dayeuh Luhur
Koordinat : 6°53'28.757''S 107°58'31.2578''E


4.Monumen Lingga
Di tengah-tengah alun-alun Kota Sumedang terdapat monumen yang disebut Monumen Lingga. Secara astronomis terletak pada koordinat 06º51’11” LS dan 107º55’19” BT. Alun-alun tersebut tidak ubahnya taman di tengah kota. Kalau pada masa lampau alun-alun berupa tanah lapang yang ditumbuhi rumpu dan pohon beringin di sekelilingnya, alun-alun Kota Sumedang merupakan areal berdenah segi empat dan dilengkapi dengan pohon-pohon besar, kursi, dan area kosong. Di sekitarnya terdapat beberapa bangunan yang penting, antara lain kompleks pendopo Kabupaten Sumedang di sebelah selatan, Masjid Agung Sumedang di sebelah barat, penjara di sebelah timur, dan Gedung DPRD di sebelah utara.  
Monumen ini merupakan tugu peringatan yang diperuntukan untuk mengenang jasa-jasa Bupati Sumedang P.A. Suriatmaja yang meninggal sewaktu menjalankan ibadah haji dan dimakamkan di Mekkah. Oleh karena meninggal di Mekkah, beliau juga disebut Pangeran Mekkah. Jasa-jasa beliau bagi Sumedang antara lain di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial. 
Monumen Lingga merupakan bangunan permanen mempunyai dasar berbentuk bujur sangkar dengan panjang masing-masing sisi sekitar 10 m yang dilengkapi dengan sejumlah anak tangga untuk naik serta berpagar. Bagian atas dari dasar berupa bangunan berbentuk segi empat berteras, diikuti bangunan setengah lingkaran, kemudian diikuti bangunan segi empat, dan pada bagian puncak terdapat bangunan berbentuk bulat. Pada bagian segi empat yang di bawah bulatan ini terdapat inskrispi pada keempat sisinya.   Pada sisi barat terdapat inskripsi berhuruf cacarakan (huruf Jawa), pada sisi utara terdapat inskripsi berhuruf Latin berbahasa Melayu, sisi timur terdapat inskripsi berhuruf cacarakan, dan pada sisi selatan terdapat inskripsi berhuruf latin berbahasa Sunda.

Lokasi:  Di tengah Alun-alun Kota Sumedang
Koordinat : 06º51’11” S, 107º55’19” E



5.Kuda Renggong
Mungkin istilah Kuda Renggong sudah tidak asing lagi di telinga Anda, namun belum banyak yang mengenal sejarah atau filosofinya. Kata Renggong di dalam Kuda Renggong merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (keterampilan) cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang. Ada dua kategori pertunjukkan Kuda Renggong, yaitu sebagai kuda tunggangan dalam arak-¬arakan anak sunat dan Kuda Renggong yang dipertontonkan pada saat-saat tertentu seperti upacara peringatan hari besar, menerima tamu kehormatan, atau festival.
Untuk acara sunatan, Kuda Renggong dipagelarkan sehari sebelum pelaksanaan menyunat. Setelah anak sunat selesai mengikuti upacara khusus dan diberi doa, selanjutnya dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca (khusus anak sunat laki-laki), anak sunat tersebut dinaikkan ke atas Kuda Renggong, untuk kemudian diarak mengelilingi desa. Ketika anak sunat diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih). Acara sawer ini, menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak¬anak desa.
Berbeda dengan pertunjukan pada acara sunatan, para peserta festival Kuda Renggong, biasanya dikumpulkan di area awal keberangkatan, di jalan raya depan kantor Bupati. Mereka berasal dari perwakilan desa atau kecamatan se¬-Kabupaten Sumedang. Sebelum festival dimulai, para peserta dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia. Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan.
Dari beberapa pertunjukan yang dilaksanakan, terlihat kreatifitas dari masing-masing rombongan, seperti adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat). Selain itu, terdapat pula penambahan aksesoris kuda, yaitu dengan payet-payet berwarna merah keemasan dan payung-payung kebesaran, tarian pengiring pun ditata apik, sementara musik pengiring Kendang Pencak divariasikan dengan gamelan untuk bajidoran, tanjidor, dangdutan.
Makna simbolis dari pertunjukkan Kuda Renggong diantaranya adalah makna spiritual. Spirit yang dimunculkan merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki¬laki yang disunat. Selanjutnya makna interaksi antar mahkluk Tuhan. Kesadaran para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahkluk Tuhan yang dimanjakan. Makna universal, sejak jaman manusia mengenal binatang Kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, dan kewibawaan
Lokasi:  Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua




0 komentar:

Post a Comment