Angklung
Alat Musik dari Indonesia
Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang
secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa
bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara
digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Angklung terdaftar sebagai Karya Agung
Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO sejak November 2010.
Asal-usul
Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi
diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang
berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung
merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa
Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik
bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang
agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal
ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai
sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual
mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah
salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya
berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi
Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut
adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras)
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap
ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di
antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu
sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan
angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya
di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut
disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu
yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang
kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan
seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung
yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan
yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi
iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan
sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi
kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan
angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan
madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari
berbagai komunitas.
Jenis
Angklung
Angklung
Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka
orang Baduy) digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau dibunyikan
ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Menabuh angklung ketika menanam
padi ada yang hanya dibunyikan bebas (dikurulungkeun), terutama di Kajeroan
(Tangtu; Baduy Jero), dan ada yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran
(Baduy Luar). Meski demikian, masih bisa ditampilkan di luar ritus padi tetapi
tetap mempunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah itu,
selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan
lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup angklung dilaksanakan dengan
acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan)
angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, Angklung biasanya diadakan saat terang
bulan dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di
pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: Lutung Kasarung,
Yandu Bibi, Yandu Sala, Ceuk Arileu, Oray-orayan, Dengdang, Yari Gandang,
Oyong-oyong Bangkong, Badan Kula, Kokoloyoran, Ayun-ayunan, Pileuleuyan,
Gandrung Manggu, Rujak Gadung, Mulung Muncang, Giler, Ngaranggeong, Aceukna,
Marengo, Salak Sadapur, Rangda Ngendong, Celementre, Keupat Reundang,
Papacangan, dan Culadi Dengdang. Para penabuh angklung sebanyak delapan orang
dan tiga penabuh bedug ukuran kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan
dalam formasi lingkaran. Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari)
dengan gerakan tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan
hanya oleh laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Daduy Dalam, mereka
dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan; tabu), tidak boleh
melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan. Kesenian semata-mata
dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah:
indung, ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang. Nama-nama bedug
dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan ketuk. Penggunaan instrumen
bedug terdapat perbedaan, yaitu di kampung-kampung Kaluaran mereka memakai
bedug sebanyak 3 buah. Di Kajeroan; kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug
dan talingtit, tanpa ketuk. Di Kajeroan, kampung Cibeo, hanya menggunakan
bedug, tanpa talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung adalah orang
Kajeroan (Tangtu; Baduy Jero). Kajeroan terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo,
Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini tidak semua orang bisa
membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak saja yang mengerjakannya di
samping adanya syarat-syarat ritual. Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal
adalah Ayah Amir (59), dan di Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli
dari orang Kajeroan di tiga kampung tersebut.
Angklung
Dogdog Lojor
Kesenian dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan
Pancer Pangawinan atau kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar
Gunung Halimun (berbatasan dengan jakarta, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian
ini dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya, tetapi
di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara ritual padi.
Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun
atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung adat sebagai tempat
kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu berpindah-pindah sesuai petunjuk
gaib.
Tradisi penghormatan padi pada masyarakat ini masih
dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat yang masih memegang teguh adat
lama. Secara tradisi mereka mengaku sebagai keturunan para pejabat dan prajurit
keraton Pajajaran dalam baresan Pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat
Kasepuhan ini telah menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh
modernisasi, serta hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap
ini berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar tahun
1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu digunakan untuk
memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara kemeriahan lainnya. Instrumen
yang digunakan dalam kesenian dogdog lojor adalah 2 buah dogdog lojor dan 4
buah angklung besar. Keempat buah angklung ini mempunyai nama, yang terbesar
dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen dimainkan
oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya Bale Agung, Samping
Hideung, Oleng-oleng Papanganten, Si Tunggul Kawung, Adulilang, dan Adu-aduan.
Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan angklung cenderung tetap.
Angklung
Gubrag
Angklung gubrag terdapat di kampung Cipining, kecamatan
Cigudeg, Bogor. Angklung ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati
dewi padi dalam kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut
padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung).
Dalam mitosnya angklung gubrag mulai ada ketika suatu masa
kampung Cipining mengalami musim paceklik.
Angklung
Badeng
Badeng merupakan jenis kesenian yang menekankan segi musikal
dengan angklung sebagai alat musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa
Sanding, Kecamatan Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk
kepentingan dakwah Islam. Tetapi diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak
lama dari masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual
penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang sejak
Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau 17. Pada masa itu penduduk
Sanding, Arpaen dan Nursaen, belajar agama Islam ke kerajaan Demak. Setelah pulang
dari Demak mereka berdakwah menyebarkan agama Islam. Salah satu sarana
penyebaran Islam yang digunakannya adalah dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak sembilan buah, yaitu 2
angklung roel, 1 angklung kecer, 4 angklung indung dan angklung bapa, 2
angklung anak; 2 buah dogdog, 2 buah terbang atau gembyung, serta 1 kecrek.
Teksnya menggunakan bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam
perkembangannya sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat
nilai-nilai Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara.
Dalam pertunjukannya selain menyajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi
kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam.
Lagu-lagu badeng: Lailahaileloh, Ya’ti, Kasreng, Yautike,
Lilimbungan, Solaloh.
Buncis
Buncis merupakan seni pertunjukan yang bersifat hiburan, di
antaranya terdapat di Baros (Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan
pada acara-acara pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa
sekarang buncis digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan
semakin berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal
berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai berakhirnya
fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak itu buncis berubah
menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu tempat-tempat penyimpanan padi
pun (leuit; lumbung) mulai menghilang dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan
tempat-tempat karung yang lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi
pun sekarang banyak yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan
demikian kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal
(membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis berkaitan dengan sebuah teks lagu yang
terkenal di kalangan rakyat, yaitu cis kacang buncis nyengcle..., dst. Teks
tersebut terdapat dalam kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan
buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis adalah 2
angklung indung, 2 angklung ambrug, angklung panempas, 2 angklung pancer, 1
angklung enclok. Kemudian 3 buah dogdog, terdiri dari 1 talingtit, panembal,
dan badublag. Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet, kecrek,
dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal bisa berlaras
madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya: Badud, Buncis, Renggong,
Senggot, Jalantir, Jangjalik, Ela-ela, Mega Beureum. Sekarang lagu-lagu buncis
telah menggunakan pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya
laki-laki pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (Angklung) di
atas, adalah beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yang
terdiri atas: Angklung Buncis (Priangan/Bandung), Angklung Badud (Priangan
Timur/Ciamis), Angklung Bungko (Indramayu), Angklung Gubrag (Bogor), Angklung
Ciusul (Banten), Angklung Dog dog Lojor (Sukabumi), Angklung Badeng
(Malangbong, Garut), dan Angklung Padaeng yang identik dengan Angklung Nasional
dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun 1938. Angklung khas
Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung Sunda. Angklung Sunda yang
bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng Sutigna alias Si Etjle
(1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada Barat (solmisasi) sehingga dapat
memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil pengembangannya kemudian diajarkan ke
siswa-siswa sekolah dan dimainkan secara orkestra besar.
Angklung
Padaeng
Angklung padaeng adalah angklung yang dikenalkan oleh Daeng
Soetigna sejak sekitar tahun 1938. Terobosan pada angklung padaeng adalah
digunakannya laras nada Diatonik yang sesuai dengan sistem musik barat. Dengan
demikian, angklung kini dapat memainkan lagu-lagu internasional, dan juga dapat
bermain dalam Ensembel dengan alat musik internasional lainnya.
Sesuai dengan Teori musik, angklung padaeng secara khusus
dibuat menjadi dua jenis besar yakni:
Angklung Melodi,
adalah angklung yang secara fisik terdiri atas dua tabung suara dengan beda
nada 1 oktaf. Pada satu unit angklung, umumnya ada:
Angklung melodi kecil, terdiri atas 31
angklung.
Angklung
melodi besar, atau disebut juga bass-party, terdiri atas 11 angklung.
Angklung
akompanimen, adalah angklung yang digunakan sebagai pengiring untuk memainkan
nada-nada Harmoni. Tabung suaranya ada 3 atau 4, sesuai dengan Akord diatonis.
Suatu unit angklung standar biasanya memiliki:
Angklung
akompanimen mayor sekaligus akord dominan septim, terdiri atas 12 buah angklung
Angklung
akompanimen minor, terdiri atas 12 buah angklung
Pak Daeng menggunakan angklung ciptaannya untuk melatih
anak-anak pandu (pramuka jaman dulu). Tidak heran kalau lagu-lagu yang
dimainkan mereka saat itu umumnya lagu wajib. Beberapa peninggalan aransemen
asli Daeng Soetigna misalnya "Satu Nusa Satu Bangsa", "Ibu Kita
Kartini", atau "Wajib Belajar". Sekitar tahun 1980-an, KPA SMA 3
Bandung berdiri dengan perintis muda seperti Djoko, Budi Supardiman, dan Asep
Suhada. Mereka mulai mengaranseman angklung padaeng untuk musik-musik modern
Indonesia seperti "September Ceria" (Vina Panduwinata),
"Astaga" (Ruth Sahanaya) dan "Gemilang" (Krakatau (grup
musik)), bahkan merambah ke musik manca negara mulai dari "Yesterday"
(Beatles), "Another Day in Paradise" (Phil Collins), hingga
"Bohemian Rhapsody" (Queen).
Angklung
Sarinande
Angklung sarinande adalah istilah untuk angklung padaeng
yang hanya memakai nada bulat saja (tanpa nada kromatis) dengan nada dasar C.
Unit kecil angklung sarinade berisi 8 angklung (nada Do sampai Do Tinggi),
sementara sarinade plus berisi 13 angklung (nada sol rendah hingga mi tinggi).
Angklung
Toel
Angklung toel diciptakan oleh Kang Yayan Udjo sekitar tahun
2008. [1] Pada alat ini, ada rangka setinggi pinggang dengan beberapa angklung
dijejer dengan posisi terbalik dan diberi karet. Untuk memainkannya, seorang
pemain cukup men-toel angklung tersebut, dan angklung akan bergetar beberapa
saat karena adanya karet.
Angklung
Sri-Murni
Angklung ini merupakan gagasan Eko Mursito Budi yang khusus
diciptakan untuk keperluan robot angklung. Sesuai namanya, satu angklung ini
memakai dua atau lebih tabung suara yang nadanya sama, sehingga akan
menghasilkan nada murni (mono-tonal). Ini berbeda dengan angklung padaeng yang
multi-tonal. Dengan ide sederhana ini, robot dengan mudah memainkan kombinasi
beberapa angklung secara simultan untuk menirukan efek angklung melodi maupun
angklung akompanimen.
Ensemble
Angklung
Agar lebih kaya suaranya, angklung sebaiknya dimainkan
dengan alat musik lain membentuk ensembel. Beberapa ensembel angklung yang
sudah mapan adalah:
Klasik
Padaeng
Ensemble angklung klasik yang dikenalkan oleh Pak Daeng
Soetigna terdiri atas:
Angklung melodi
Angklung akompanimen
Bas betot
Kombinasi minimal inilah yang paling populer dan umum
dijumpai saat konser maupun lomba paduan angklung.
Angklung
Solo
Angklung solo adalah konfigurasi dimana satu unit angklung
melodi digantung pada suatu palang sehingga bisa dimainkan satu orang saja.
Sesuai dengan konvensi nada diatonis, maka ada dua jajaran gantungan angklung,
yang bawah berisi nada penuh, sedangkan yang atas berisi nada kromatis.
Angklung Solo ini digagas oleh Yoes Roesadi tahun 1964, dan dimainkan bersama
alat musik basanova dalam group yang menamakan diri Aruba (Alunan Rumpun
Bambu). Sekitar tahun 1969, nama Aruba ini disesuaikan menjadi Arumba[3]
Arumba
Arumba adalah istilah bagi seperangkat alat musik (ensemble)
yang minimal terdiri atas: [4]
Satu unit angklung
melodi, digantung sehingga bisa dimainkan oleh satu orang
Satu unit bass
lodong, juga dijejer agar bisa dimainkan satu orang
Gambang bambu
melodi
Gambang bambu
akompanimen
Gendang
Konfigurasi awal ensemble tersebut diperkenalkan oleh
Mochamad Burhan sekitar tahun 1966, yang menggunakannya bersama grup
"Arumba Cirebon" .
Teknik
Permainan Angklung
Memainkan sebuah angklung sangat mudah. Seseorang tinggal
memegang rangkanya pada salah satu tangan (biasanya tangan kiri) sehingga
angklung tergantung bebas, sementara tangan lainnya (biasanya tangan kanan)
menggoyangnya hingga berbunyi. Dalam hal ini, ada tiga teknik dasar menggoyang
angklung:
Kurulung (getar),
merupakan teknik paling umum dipakai, dimana tangan kanan memegang tabung dasar
dan menggetarkan ke kiri-kanan berkali-kali selama nada ingin dimainkan.
Centok (sentak),
adalah teknik dimana tabung dasar ditarik dengan cepat oleh jari ke telapak
tangan kanan, sehingga angklung akan berbunyi sekali saja (stacato).
Tengkep, mirip
seperti kurulung namun salah satu tabug ditahan tidak ikut bergetar. Pada
angklung melodi, teknik ini menyebabkan angklung mengeluarka nada murni (satu
nada melodi saja, tidak dua seperti biasanya). Sementara itu pada angklung
akompanimen mayor, teknik ini digunakan untuk memainkan akord mayor (3 nada),
sebab bila tidak ditengkep yang termainkan adalah akord dominan septim (4
nada).
Sementara itu untuk memainkan satu unit angklung guna
membawakan suatu lagu, akan diperlukan banyak pemusik yang dipimpin oleh
seorang konduktor. Pada setiap pemusik akan dibagikan satu hingga empat
angklung dengan nada berbeda-beda. Kemudian sang konduktor akan menyiapkan
partitur lagu, dengan tulisan untaian nada-nada yang harus dimainkan. Konduktor
akan memberi aba-aba, dan masing-masing pemusik harus memainkan angklungnya
dengan tepat sesuai nada dan lama ketukan yang diminta konduktor. Dalam
memainkan lagu ini para pemain juga harus memperhatikan teknik sinambung, yaitu
nada yang sedang berbunyi hanya boleh dihentikan segera setelah nada berikutnya
mulai berbunyi.
Berlatih
Angklung
Angklung akan terdengar merdu dan megah jika dimainkan
beramai-ramai dengan kompak. Untuk itu, diperlukan persiapan dan latihan yang
cukup panjang, dipimpin pelatih yang cukup punya pemahaman musik umum maupun
angklung. Tahap-tahap persiapannya adalah:
Pilih lagu dengan
aransemennya. Lagu yang cocok dimainkan dengan angklung umumnya yang berirama
riang, dan jika bisa ada bagian yang rancak, sehingga bisa diimprovisasi dengan
teknik centok. Lagu ini kemudian perlu diaransemen khusus untuk angklung,
dengan memiliki beberapa suara. Untuk latihan, aransemen ini kemudian ditulis
di kertas yang besar (biasanya dalam notasi not angka).
Siapkan unit
angklung sesuai aransemen. Dari aransemen angklung, bisa diketahui berapa
angklung yang diperlukan berdasar rentang nada lagu dan keseimbangan
intonasinya.
Kumpulkan pemain dan distribusikan angklung
kepada mereka. Jika ada pemain yang memegang banyak angklung, harus
diperhatikan agar si pemain tersebut tidak akan pernah memainkan dua angklung
pada saat bersamaan. Untuk itu biasanya dipakai tabel tonjur.
Pemanasan. Sebelum berlatih, sebaiknya
lemaskan dulu kaki dan tangan, lalu lakukan gerakan-gerakan dasar untuk
kurulung maupun centok bersama-sama.
Mempelajari lagu.
Bersama-sama, pelajari dan telusuri alur lagu, mana bait-bait dan chorus yang
harus diulang. Perlahan-lahan mainkan lagu ini dibawah pimpinan konduktor.
Disarankan agar selama latihan awal semua nada di-centok saja, jangan
dikurulung dulu.
Menghafal not.
Perlahan-lahan para pemain diminta menghafal not-not lagu dan bagian
permainannya.
Meningkatkan
teknik. Ini tahap polesan akhir, dimana konduktor bisa mulai memimpin dengan
menekankan keserempakan permainan, dinamika, maupun penjiwaan.
Koreografi. Jika
akan tampil dipentas, bisa mulai dipikirkan improvisasi agar para pemain melakukan
gerakan yang menarik, tidak berdiri kaku terus menerus.
Angklung
Interaktif
Angklung interaktif adalah kegiatan dimana seorang konduktor
mengajak banyak orang, yang umumnya awam, untuk bermain angklung beramai-ramai
[6]. Kegiatan ini bisa dilakukan di tempat pariwisata atau acara ramah tamah.
Pada para peserta akan dibagikan angklung-angklung yang sudah diberi nomor
sesuai nadanya. Lalu, sang konduktor akan memimpin, biasanya dengan cara:
Konduktor membuka
satu layar besar bertuliskan lagu dalam not angka, lalu mengajak para peserta
memainkan angklung yang tepat dengan menunjuk nada pada layar.
Konduktor
mengajarkan isyarat tangan untuk nada-nada tertentu pada penonton, kemudian memimpin
suatu lagu dengan memberikan isyarat yang tepat secara berurutan untuk diikuti
para peserta.
Ide menggunakan isyarat tangan untuk berlatih angklung ini
sudah muncul sejak jaman Pak Daeng Soetigna. Mang Udjo kemudian memperkenalkan
isyarat lain yang lebih mudah dipahami, dan mempopulerkannya melalui berbagai
pertunjukan.
Modernisasi
Angklung
Secara esensial, angklung adalah alat musik bambu yang
dimainkan dengan digetar. Hal tersebut tidak boleh diubah. Meski demikian,
berbagai upaya kreatif untuk memodernisasinya terus berlangsung, seperti:
Angklung elektrik
karya Agus Suhardiman
Angklung otomatis,
Tugas akhir Kadek Kertayasa di STIKOM Surabaya
Tra-digi, angklung
robot yang dikontrol oleh i-pod, ciptaan Hasim Ghozali.
Klungbot, robot
angklung yang mula-mula dikreasi oleh Krisna Diastama dan Karismanto Rahmadika
[11], kemudian dilanjutkan oleh Eko Mursito Budi
0 komentar:
Post a Comment