Kebudayaan
Sumedang
1.Masjid
Besar Tegal kalong
Masjid Besar Tegal Kalong terletak
di Jalan HajiSuleiman di wilayah Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan.
Di sebelah timur masjid terdapat tanah lapang kecamatan yang sekarang menjadi
taman, sebelah utara terdapat Pasar Inpres, sebelah barat pemukiman warga
Kampung Kaum, dan sebalah barat merupakan pemukiman wilayah Kampung Sukaluyu.
Secara astoronomis terletak pada 06º50’54,7” LS dan 107º55’37,8” BT.
Tegal Kalong dalam sejarah Sumedang
merupakan ibu kota kerajaan Sumedanglarang setelah dipindahkan dari Dayeuh
Luhur pada tahun 1600-an. Pemindahan ini terjadi pada waktu R. Suriadiwangsa
menggantikan ayahnya, Prabu Geusan Ulun. Setelah Kerajaan Sumedanglarang
menjadi daerah kekuasaan Mataram Islam, tempat ini oleh R. Suriadiwangsa
dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang. Sebagai kelengkapan kota
seperti yang berlaku pada umumnya kota-kota masa Islam di Indonesia, R.
Suriadiwangsa membangun masjid ini pada sekitar tahun 1600-an merupakan
bangunan permanen berdenah segi empat berukuran 22 x 8 m. Ruang utama
dilengkapi juga dengan pintu-pintu dan jendela-jendela. Masjid beratap tumpang
yang disangga empat tiang utama atau saka guru dengan puncaknya dilengkapi
dengan mustaka. Selain ruang utama, masjid dilengkapi juga dengan teras
dan tempat wudhu. Pada bagian masjid terdapat halaman yang dilengkapi dengan
pagar keliling dengan dua pintu. Menurut keterangan dari pihak Dewan
Kesejahteraan Masjid (DKM), semula masjid merupakan bangunan rumah panggung,
dinding dari anyaman bambu atau bilik. Setidaknya masjid telah mengalami 5 kali
pemugaran.
Selain masjid, di tempat ini
terdapat tinggalan arkeologi – sejarah yang cukup penting, yaitu bekas Pendopo
Kabupaten Sumedang. Bangunan pendopo tersebut terletak di dekat masjid.
Bangunan yang mengalami perubahan dan penambahan bentuk ini sekarang
difungsikan sebagai Kantor Camat Sumedang Selatan.
Salah satu peristiwa sejarah
yang cukup penting di masjid ini adalah ketika pada tahun 1786 terjadi serangan
tentara Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Cilik Widara. Serangan dilakukan
ketika Bupati dan para pejabat serta masyarakat sedang menjalankan shalat Hari
Raya Idul Fitri yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Sumedang.
Setelah peristiwa tersebut pusat pemerintahan dipindahkan ke pusat kota yang
sekarang. Peristiwa yang memilukan tersebut juga berakibat lain adalah tabu
bagi para bupati selanjutnya bila shalat Idul Fitri jatuh pada hari Jumat untuk
shalat di ibu kota Sumedang.
Lokasi: Jalan Haji Suleiman di
wilayah Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan
Koordinat : 6° 50' 33" S, 107°
55' 23" E
2.Museum
Prabu geusan Ulun
Museum Prabu Geusan Ulun terletak di
Kompleks Pendopo Kabupaten Sumedang terletak di pusat Kota Sumedang. Kompleks
ini semenjak Sumedang berdiri pada tahun 1705 hingga sekarang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kabupaten Sumedang. Kompleks yang didalamnya terdapat
bangunan-bangunan tersebut berukuran seluas 1,8 ha dan dikelilingi dengan
tembok setinggi tiga meter. Di dalam kompleks terdapat bangunan-bangunan yang
cukup tua , yaitu Gedung Srimangati yang dibangun pada tahun 1706, Gedung Bumi
Kaler (1850), dan Gedung Gendeng (1850). Selain itu, terdapat tiga
gedunglainnya yang relatif baru, yaitu Gedung Gamelan (1973), Gedung Pusaka
(1990), dan Gedung Kereta Naga Paksi (1996).
Museum menempati Gedung Srimanganti.
Gedung ini dibangun tahun 1706 oleh Bupati Dalem Adipati Tanumaja yang
memindahkan pusat kota kabupaten dari Tegal Kalong ke tempat ini. Gedung
Srimanganti merupakan bangunan permanen berdinding tembok. Berlantai tinggi
dengan permukaan tegel dan pada bagian teras belakang bangunan dijumpai adanya
tiang-tiang penyangga lantai kayu. Jendela-jendela berukuran cukup besar dengan
bentuk segi empat dan melengkung atau kurva. Pintu-pintu berukuran cukup besar
serta pada bagian atas daun pintu terdapat ventilasi yang dipenuhi hiasan
floral. Juga dilengkapi tiang-tiang bangunan kokoh.
Gedung Srimanganti pada awalnya
berfungsi sebagai kediaman resmi bupati dan keluarganya. Pada tahun 1950
samapai dengan 1982 dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten
Sumedang. Pada tahun 1982 dipugar dan setelah dipugar difungsikan sebagai
museum dengan nama Museum Prabu Geusan Ulun. Di dalam museum terdapat koleksi,
antara lain Meriam Kalantaka, peninggalan Kompeni tahun 1656, gamelan Panglipur
yang merupakan peninggalan Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633), gamelan Pangasih
peninggalan Pangeran Kornel (1791 – 1828), dan gamelan Sari Arum peninggalan
Pangeran Sugih (1836 – 1882). Di samping itu juga terdapat koleksi lainnya
seperti tempat tidur Pangeran Kornel dan baju-baju kebesaran bupati masa
lampau.
Koordinat : 6° 51' 7" S, 107°
55' 13" E
3.Makam
Embah Jayaperkosa
Embah Jayaperkosa adalah patih dari
Prabu Geusan Ulun. Beliau tokoh yang cukup penting dalam masa peralihan kekusaan
Kerajaan Sunda-Pajajaran ke Kerajaan Sumedanglarang. Beliaulah salah satu dari
keempat kandaga lante yang mendukung sepenuhnya kekuasaan Prabu GeusanUlun.
Sebagai panglima perang, beliau berjasa sekali dalam menghadapi konflik
Kerajaan Sumedanglarang dan Kesultanan Cirebon. Dalam riwayat beliau ngahiang
dan makamnya terdapat di puncak Gunung Rengganis. Makamnya banyak didatangi
oleh para peziarah, bahkan di antara peziarah banyak yang menginap di makam
beliau.
Makam Embah Jayaperkosa terdapat di
sebelah selatan Desa Dayeuh Luhur dapat dicapai dengan jalan kaki melewati
perkampungan warga dan melalui jalan menanjak berteras yang terbuat dari semen.
Sebelum mencapai ke puncak terdapat pintu gerbang dan dilengkapi dengan
saung. Sesampainya di puncak gunung terdapat makam Embah Jayaperkosa.
Makam tersebut dikelilingi pagar kawat dengan pintu terdapat di sisi utara.
Makam berupa batu tegak setinggi sekitar 180 cm yang dibungkus kain putih dan
bagian bawah berupa bangunan segi empat dari semen dengan permukaan dilapisi
keramik putih. Pada bagian luar makam terdapat bangunan yang difungsikan
sebagai tempat ibadah dan menginap para peziarah. Lingkungan sekeliling makam
dipenuhi pohon bambu yang cukup lebat yang menjadikan tempat ini semakin sejuk
dan tenang. Jika seseorang berdiri di tempat ini akan dapat melihat panorama
berupa bentang alam dan daerah-daeah pemukiman di bawahnya terutama di bagian
utara dan timur gunung. Apabila bendungan Jatigede terealisasi, dari tempat ini
akan sangat jelas terlihat.
Makam Embah Jayaperkosa bukan
merupakan tempat pemakamannya, tetapi sebagai tempat ngahyang-nya tokoh
tersebut. Selain itu, dalam riwayat di tempat didirikannya menhir tersebut
merupakan tempat jatuhnya sinar ghaib berwarna kekuningan pada waktu Prabu
Tajimalela sedang menguji kesaktiannya berupa ilmu kasumedangan. Prabu
Tajimalela merupakan pendiri kerajaan Tembong Agung yang berpusat di Leuwi
Hideung, Darmaraja, Sumedang. Kerajaan tersebut adalah cikal bakal Kerajaan
Sumedanglarang yang berdiri pada abad ke-14-15 M. Di makam ini pula terdapat
larangan yang harus dipatuhi oleh para peziarah, yaitu adanya larangan memakai
pakaian bermotif batik.
Lokasi: Desa Dayeuh Luhur
Koordinat : 6°53'28.757''S
107°58'31.2578''E
4.Monumen
Lingga
Di tengah-tengah alun-alun Kota
Sumedang terdapat monumen yang disebut Monumen Lingga. Secara astronomis
terletak pada koordinat 06º51’11” LS dan 107º55’19” BT. Alun-alun tersebut
tidak ubahnya taman di tengah kota. Kalau pada masa lampau alun-alun berupa
tanah lapang yang ditumbuhi rumpu dan pohon beringin di sekelilingnya,
alun-alun Kota Sumedang merupakan areal berdenah segi empat dan dilengkapi
dengan pohon-pohon besar, kursi, dan area kosong. Di sekitarnya terdapat
beberapa bangunan yang penting, antara lain kompleks pendopo Kabupaten Sumedang
di sebelah selatan, Masjid Agung Sumedang di sebelah barat, penjara di sebelah
timur, dan Gedung DPRD di sebelah utara.
Monumen ini merupakan tugu peringatan
yang diperuntukan untuk mengenang jasa-jasa Bupati Sumedang P.A. Suriatmaja
yang meninggal sewaktu menjalankan ibadah haji dan dimakamkan di Mekkah. Oleh
karena meninggal di Mekkah, beliau juga disebut Pangeran Mekkah. Jasa-jasa
beliau bagi Sumedang antara lain di bidang keagamaan, pendidikan, dan
sosial.
Monumen Lingga merupakan bangunan
permanen mempunyai dasar berbentuk bujur sangkar dengan panjang masing-masing
sisi sekitar 10 m yang dilengkapi dengan sejumlah anak tangga untuk naik serta
berpagar. Bagian atas dari dasar berupa bangunan berbentuk segi empat berteras,
diikuti bangunan setengah lingkaran, kemudian diikuti bangunan segi empat, dan
pada bagian puncak terdapat bangunan berbentuk bulat. Pada bagian segi empat
yang di bawah bulatan ini terdapat inskrispi pada keempat sisinya. Pada
sisi barat terdapat inskripsi berhuruf cacarakan (huruf Jawa), pada sisi utara
terdapat inskripsi berhuruf Latin berbahasa Melayu, sisi timur terdapat
inskripsi berhuruf cacarakan, dan pada sisi selatan terdapat inskripsi berhuruf
latin berbahasa Sunda.
Lokasi: Di tengah Alun-alun
Kota Sumedang
Koordinat : 06º51’11” S, 107º55’19”
E
5.Kuda
Renggong
Mungkin istilah Kuda Renggong sudah
tidak asing lagi di telinga Anda, namun belum banyak yang mengenal sejarah atau
filosofinya. Kata Renggong di dalam Kuda Renggong merupakan metatesis dari kata
ronggeng yaitu kamonesan (keterampilan) cara berjalan kuda yang telah dilatih
untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang. Ada dua kategori
pertunjukkan Kuda Renggong, yaitu sebagai kuda tunggangan dalam arak-¬arakan
anak sunat dan Kuda Renggong yang dipertontonkan pada saat-saat tertentu
seperti upacara peringatan hari besar, menerima tamu kehormatan, atau festival.
Untuk acara sunatan, Kuda Renggong dipagelarkan sehari sebelum pelaksanaan menyunat. Setelah anak sunat selesai mengikuti upacara khusus dan diberi doa, selanjutnya dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca (khusus anak sunat laki-laki), anak sunat tersebut dinaikkan ke atas Kuda Renggong, untuk kemudian diarak mengelilingi desa. Ketika anak sunat diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih). Acara sawer ini, menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak¬anak desa.
Berbeda dengan pertunjukan pada acara sunatan, para peserta festival Kuda Renggong, biasanya dikumpulkan di area awal keberangkatan, di jalan raya depan kantor Bupati. Mereka berasal dari perwakilan desa atau kecamatan se¬-Kabupaten Sumedang. Sebelum festival dimulai, para peserta dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia. Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan.
Dari beberapa pertunjukan yang dilaksanakan, terlihat kreatifitas dari masing-masing rombongan, seperti adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat). Selain itu, terdapat pula penambahan aksesoris kuda, yaitu dengan payet-payet berwarna merah keemasan dan payung-payung kebesaran, tarian pengiring pun ditata apik, sementara musik pengiring Kendang Pencak divariasikan dengan gamelan untuk bajidoran, tanjidor, dangdutan.
Makna simbolis dari pertunjukkan Kuda Renggong diantaranya adalah makna spiritual. Spirit yang dimunculkan merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki¬laki yang disunat. Selanjutnya makna interaksi antar mahkluk Tuhan. Kesadaran para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahkluk Tuhan yang dimanjakan. Makna universal, sejak jaman manusia mengenal binatang Kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, dan kewibawaan
Lokasi: Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua
Untuk acara sunatan, Kuda Renggong dipagelarkan sehari sebelum pelaksanaan menyunat. Setelah anak sunat selesai mengikuti upacara khusus dan diberi doa, selanjutnya dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca (khusus anak sunat laki-laki), anak sunat tersebut dinaikkan ke atas Kuda Renggong, untuk kemudian diarak mengelilingi desa. Ketika anak sunat diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih). Acara sawer ini, menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak¬anak desa.
Berbeda dengan pertunjukan pada acara sunatan, para peserta festival Kuda Renggong, biasanya dikumpulkan di area awal keberangkatan, di jalan raya depan kantor Bupati. Mereka berasal dari perwakilan desa atau kecamatan se¬-Kabupaten Sumedang. Sebelum festival dimulai, para peserta dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia. Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan.
Dari beberapa pertunjukan yang dilaksanakan, terlihat kreatifitas dari masing-masing rombongan, seperti adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat). Selain itu, terdapat pula penambahan aksesoris kuda, yaitu dengan payet-payet berwarna merah keemasan dan payung-payung kebesaran, tarian pengiring pun ditata apik, sementara musik pengiring Kendang Pencak divariasikan dengan gamelan untuk bajidoran, tanjidor, dangdutan.
Makna simbolis dari pertunjukkan Kuda Renggong diantaranya adalah makna spiritual. Spirit yang dimunculkan merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki¬laki yang disunat. Selanjutnya makna interaksi antar mahkluk Tuhan. Kesadaran para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahkluk Tuhan yang dimanjakan. Makna universal, sejak jaman manusia mengenal binatang Kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, dan kewibawaan
Lokasi: Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua