Thursday, February 21, 2013

Kebudayaan Sumedang



Kebudayaan Sumedang

1.Masjid Besar Tegal kalong
Masjid Besar Tegal Kalong terletak di Jalan HajiSuleiman di wilayah Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan. Di sebelah timur masjid terdapat tanah lapang kecamatan yang sekarang menjadi taman, sebelah utara terdapat Pasar Inpres, sebelah barat pemukiman warga Kampung Kaum, dan sebalah barat merupakan pemukiman wilayah Kampung Sukaluyu. Secara astoronomis terletak pada 06º50’54,7” LS dan 107º55’37,8” BT. 
Tegal Kalong dalam sejarah Sumedang merupakan ibu kota kerajaan Sumedanglarang setelah dipindahkan dari Dayeuh Luhur pada tahun 1600-an. Pemindahan ini terjadi pada waktu R. Suriadiwangsa menggantikan ayahnya, Prabu Geusan Ulun. Setelah Kerajaan Sumedanglarang menjadi daerah kekuasaan Mataram Islam, tempat ini oleh R. Suriadiwangsa dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sumedang. Sebagai kelengkapan kota seperti yang berlaku pada umumnya kota-kota masa Islam di Indonesia, R. Suriadiwangsa membangun masjid ini pada sekitar tahun 1600-an merupakan bangunan permanen berdenah segi empat berukuran 22 x 8 m. Ruang utama dilengkapi juga dengan pintu-pintu dan jendela-jendela. Masjid beratap tumpang yang disangga empat tiang utama atau saka guru dengan puncaknya dilengkapi dengan mustaka.  Selain ruang utama, masjid dilengkapi juga dengan teras dan tempat wudhu. Pada bagian masjid terdapat halaman yang dilengkapi dengan pagar keliling dengan dua pintu. Menurut keterangan dari pihak Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), semula masjid merupakan bangunan rumah panggung, dinding dari anyaman bambu atau bilik. Setidaknya masjid telah mengalami 5 kali pemugaran.
Selain masjid, di tempat ini terdapat tinggalan arkeologi – sejarah yang cukup penting, yaitu bekas Pendopo Kabupaten Sumedang. Bangunan pendopo tersebut terletak di dekat masjid. Bangunan yang mengalami perubahan dan penambahan bentuk ini sekarang difungsikan sebagai Kantor Camat Sumedang Selatan.
Salah  satu peristiwa sejarah yang cukup penting di masjid ini adalah ketika pada tahun 1786 terjadi serangan tentara Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Cilik Widara. Serangan dilakukan ketika Bupati dan para pejabat serta masyarakat sedang menjalankan shalat Hari Raya Idul Fitri yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Sumedang. Setelah peristiwa tersebut pusat pemerintahan dipindahkan ke pusat kota yang sekarang. Peristiwa yang memilukan tersebut juga berakibat lain adalah tabu bagi para bupati selanjutnya bila shalat Idul Fitri jatuh pada hari Jumat untuk shalat di ibu kota Sumedang.
Lokasi:  Jalan Haji Suleiman di wilayah Kampung Kaum, Kelurahan Talun, Sumedang Selatan
Koordinat : 6° 50' 33" S, 107° 55' 23" E

2.Museum Prabu geusan Ulun
Museum Prabu Geusan Ulun terletak di Kompleks Pendopo Kabupaten Sumedang terletak di pusat Kota Sumedang. Kompleks ini semenjak Sumedang berdiri pada tahun 1705 hingga sekarang berfungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten Sumedang. Kompleks yang didalamnya terdapat bangunan-bangunan tersebut berukuran seluas 1,8 ha dan dikelilingi dengan tembok setinggi tiga meter. Di dalam kompleks terdapat bangunan-bangunan yang cukup tua , yaitu Gedung Srimangati yang dibangun pada tahun 1706, Gedung Bumi Kaler (1850), dan Gedung Gendeng (1850). Selain itu, terdapat tiga gedunglainnya yang relatif baru, yaitu Gedung Gamelan (1973), Gedung Pusaka (1990), dan Gedung Kereta Naga Paksi (1996). 
Museum menempati Gedung Srimanganti. Gedung ini dibangun tahun 1706 oleh Bupati Dalem Adipati Tanumaja yang memindahkan pusat kota kabupaten dari Tegal Kalong ke tempat ini. Gedung Srimanganti merupakan bangunan permanen berdinding tembok. Berlantai tinggi dengan permukaan tegel dan pada bagian teras belakang bangunan dijumpai adanya tiang-tiang penyangga lantai kayu. Jendela-jendela berukuran cukup besar dengan bentuk segi empat dan melengkung atau kurva. Pintu-pintu berukuran cukup besar serta pada bagian atas daun pintu terdapat ventilasi yang dipenuhi hiasan floral. Juga dilengkapi tiang-tiang bangunan kokoh.
Gedung Srimanganti pada awalnya berfungsi sebagai kediaman resmi bupati dan keluarganya. Pada tahun 1950 samapai dengan 1982 dipergunakan sebagai Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang. Pada tahun 1982 dipugar dan setelah dipugar difungsikan sebagai museum dengan nama Museum Prabu Geusan Ulun. Di dalam museum terdapat koleksi, antara lain Meriam Kalantaka, peninggalan Kompeni tahun 1656, gamelan Panglipur yang merupakan peninggalan Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633), gamelan Pangasih peninggalan Pangeran Kornel (1791 – 1828), dan gamelan Sari Arum peninggalan Pangeran Sugih (1836 – 1882). Di samping itu juga terdapat koleksi lainnya seperti tempat tidur Pangeran Kornel dan baju-baju kebesaran bupati masa lampau. 

Koordinat : 6° 51' 7" S, 107° 55' 13" E

3.Makam Embah Jayaperkosa
Embah Jayaperkosa adalah patih dari Prabu Geusan Ulun. Beliau tokoh yang cukup penting dalam masa peralihan kekusaan Kerajaan Sunda-Pajajaran ke Kerajaan Sumedanglarang. Beliaulah salah satu dari keempat kandaga lante yang mendukung sepenuhnya kekuasaan Prabu GeusanUlun. Sebagai panglima perang, beliau berjasa sekali dalam menghadapi konflik Kerajaan Sumedanglarang dan Kesultanan Cirebon. Dalam riwayat beliau ngahiang dan makamnya terdapat di puncak Gunung Rengganis. Makamnya banyak didatangi oleh para peziarah, bahkan di antara peziarah banyak yang menginap di makam beliau.
Makam Embah Jayaperkosa terdapat di sebelah selatan Desa Dayeuh Luhur dapat dicapai dengan jalan kaki melewati perkampungan warga dan melalui jalan menanjak berteras yang terbuat dari semen.  Sebelum mencapai ke puncak terdapat pintu gerbang dan dilengkapi dengan saung.  Sesampainya di puncak gunung terdapat makam Embah Jayaperkosa. Makam tersebut dikelilingi pagar kawat dengan pintu terdapat di sisi utara. Makam berupa batu tegak setinggi sekitar 180 cm yang dibungkus kain putih dan bagian bawah berupa bangunan segi empat dari semen dengan permukaan dilapisi keramik putih. Pada bagian luar makam terdapat bangunan yang difungsikan sebagai tempat ibadah dan menginap para peziarah. Lingkungan sekeliling makam dipenuhi pohon bambu yang cukup lebat yang menjadikan tempat ini semakin sejuk dan tenang. Jika seseorang berdiri di tempat ini akan dapat melihat panorama berupa bentang alam dan daerah-daeah pemukiman di bawahnya terutama di bagian utara dan timur gunung. Apabila bendungan Jatigede terealisasi, dari tempat ini akan sangat jelas terlihat.
Makam Embah Jayaperkosa bukan merupakan tempat pemakamannya, tetapi sebagai tempat ngahyang-nya tokoh tersebut. Selain itu, dalam riwayat di tempat didirikannya menhir tersebut merupakan tempat jatuhnya sinar ghaib berwarna kekuningan pada waktu Prabu Tajimalela sedang menguji kesaktiannya berupa ilmu kasumedangan. Prabu Tajimalela merupakan pendiri kerajaan Tembong Agung yang berpusat di Leuwi Hideung, Darmaraja, Sumedang. Kerajaan tersebut adalah cikal bakal Kerajaan Sumedanglarang yang berdiri pada abad ke-14-15 M. Di makam ini pula terdapat larangan yang harus dipatuhi oleh para peziarah, yaitu adanya larangan memakai pakaian bermotif batik. 

Lokasi:  Desa Dayeuh Luhur
Koordinat : 6°53'28.757''S 107°58'31.2578''E


4.Monumen Lingga
Di tengah-tengah alun-alun Kota Sumedang terdapat monumen yang disebut Monumen Lingga. Secara astronomis terletak pada koordinat 06º51’11” LS dan 107º55’19” BT. Alun-alun tersebut tidak ubahnya taman di tengah kota. Kalau pada masa lampau alun-alun berupa tanah lapang yang ditumbuhi rumpu dan pohon beringin di sekelilingnya, alun-alun Kota Sumedang merupakan areal berdenah segi empat dan dilengkapi dengan pohon-pohon besar, kursi, dan area kosong. Di sekitarnya terdapat beberapa bangunan yang penting, antara lain kompleks pendopo Kabupaten Sumedang di sebelah selatan, Masjid Agung Sumedang di sebelah barat, penjara di sebelah timur, dan Gedung DPRD di sebelah utara.  
Monumen ini merupakan tugu peringatan yang diperuntukan untuk mengenang jasa-jasa Bupati Sumedang P.A. Suriatmaja yang meninggal sewaktu menjalankan ibadah haji dan dimakamkan di Mekkah. Oleh karena meninggal di Mekkah, beliau juga disebut Pangeran Mekkah. Jasa-jasa beliau bagi Sumedang antara lain di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial. 
Monumen Lingga merupakan bangunan permanen mempunyai dasar berbentuk bujur sangkar dengan panjang masing-masing sisi sekitar 10 m yang dilengkapi dengan sejumlah anak tangga untuk naik serta berpagar. Bagian atas dari dasar berupa bangunan berbentuk segi empat berteras, diikuti bangunan setengah lingkaran, kemudian diikuti bangunan segi empat, dan pada bagian puncak terdapat bangunan berbentuk bulat. Pada bagian segi empat yang di bawah bulatan ini terdapat inskrispi pada keempat sisinya.   Pada sisi barat terdapat inskripsi berhuruf cacarakan (huruf Jawa), pada sisi utara terdapat inskripsi berhuruf Latin berbahasa Melayu, sisi timur terdapat inskripsi berhuruf cacarakan, dan pada sisi selatan terdapat inskripsi berhuruf latin berbahasa Sunda.

Lokasi:  Di tengah Alun-alun Kota Sumedang
Koordinat : 06º51’11” S, 107º55’19” E



5.Kuda Renggong
Mungkin istilah Kuda Renggong sudah tidak asing lagi di telinga Anda, namun belum banyak yang mengenal sejarah atau filosofinya. Kata Renggong di dalam Kuda Renggong merupakan metatesis dari kata ronggeng yaitu kamonesan (keterampilan) cara berjalan kuda yang telah dilatih untuk menari mengikuti irama musik terutama kendang. Ada dua kategori pertunjukkan Kuda Renggong, yaitu sebagai kuda tunggangan dalam arak-¬arakan anak sunat dan Kuda Renggong yang dipertontonkan pada saat-saat tertentu seperti upacara peringatan hari besar, menerima tamu kehormatan, atau festival.
Untuk acara sunatan, Kuda Renggong dipagelarkan sehari sebelum pelaksanaan menyunat. Setelah anak sunat selesai mengikuti upacara khusus dan diberi doa, selanjutnya dengan berpakaian wayang tokoh Gatotkaca (khusus anak sunat laki-laki), anak sunat tersebut dinaikkan ke atas Kuda Renggong, untuk kemudian diarak mengelilingi desa. Ketika anak sunat diturunkan dari Kuda Renggong, biasanya dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras putih). Acara sawer ini, menjadi acara yang ditunggu-tunggu, terutama oleh anak¬anak desa.
Berbeda dengan pertunjukan pada acara sunatan, para peserta festival Kuda Renggong, biasanya dikumpulkan di area awal keberangkatan, di jalan raya depan kantor Bupati. Mereka berasal dari perwakilan desa atau kecamatan se¬-Kabupaten Sumedang. Sebelum festival dimulai, para peserta dilepas satu persatu mengelilingi rute jalan yang telah ditentukan panitia. Sementara pengamat yang bertindak sebagai Juri disiapkan menilai pada titik-titik jalan tertentu yang akan dilalui rombongan.
Dari beberapa pertunjukan yang dilaksanakan, terlihat kreatifitas dari masing-masing rombongan, seperti adanya penambahan jumlah Kuda Renggong (rata-rata dua bahkan empat). Selain itu, terdapat pula penambahan aksesoris kuda, yaitu dengan payet-payet berwarna merah keemasan dan payung-payung kebesaran, tarian pengiring pun ditata apik, sementara musik pengiring Kendang Pencak divariasikan dengan gamelan untuk bajidoran, tanjidor, dangdutan.
Makna simbolis dari pertunjukkan Kuda Renggong diantaranya adalah makna spiritual. Spirit yang dimunculkan merupakan rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki¬laki yang disunat. Selanjutnya makna interaksi antar mahkluk Tuhan. Kesadaran para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya, tidak semata-mata seperti layaknya pada binatang peliharaan, tetapi memiliki kecenderungan memanjakan bahkan memposisikan kuda sebagai mahkluk Tuhan yang dimanjakan. Makna universal, sejak jaman manusia mengenal binatang Kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di pelbagai bangsa di pelbagai tempat di dunia. Bahkan kuda banyak dijadikan simbol-simbol, kekuatan dan kejantanan, kepahlawanan, dan kewibawaan
Lokasi:  Desa Cikurubuk, Kecamatan Buah Dua




Monday, February 18, 2013

Sumedang Larang



assalamualaikum
kali ini sya akan membahas tentang daerah saya sendiri yaitu sumedang yg kaya akan sejarah dan budayanya , mungkin sekarang sya hnya membahas tentang sejarhnya sja 



Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-16 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.

Sejarah

Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.

No.
Masa[1]
Tahun
1
Kerajaan Sumedang Larang
900 - 1601
2
Pemerintahan Mataram II
1601 - 1706
3
1706 - 1811
4
Pemerintahan Inggris
1811 - 1816
5
Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie
1816 - 1942
6
Pemerintahan Jepang
1942 - 1945
7
Pemerintahan Republik Indonesia
1945 - 1947
8
Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda
1947 - 1949
9
Pemerintahan Negara Pasundan
1949 - 1950
10
Pemerintahan Republik Indonesia
1950 - sekarang






Asal-mula nama

Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
No.

Nama[1]
Tahun
1

Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang


a
Prabu Guru Aji Putih

b
Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela

c
Prabu Gajah Agung

d
Sunan Guling

e
Sunan Tuakan

f
Nyi Mas Ratu Patuakan

g
Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata
1530 - 1578

h
Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya
1578 - 1601
2

Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II


a
R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I
1601 - 1625

b
Pangeran Rangga Gede
1625 - 1633

c
Pangeran Rangga Gempol II
1633 - 1656

d
Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III
1656 - 1706
3

Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang


a
Dalem Tumenggung Tanumaja
1706 - 1709

b
Pangeran Karuhun
1709 - 1744

c
Dalem Istri Rajaningrat
1744 - 1759

d
Dalem Anom
1759 - 1761

e
Dalem Adipati Surianagara
1761 - 1765

f
Dalem Adipati Surialaga
1765 - 1773

g
Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang)
1773 - 1775

h
Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang)
1775 - 1789

i
Dalem Aria Sacapati
1789 - 1791

j
Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata
1791 - 1800

k
Bupati Republik Batavia Nederland
1800 - 1810

l
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte
1805 - 1810

m
Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte
1810 - 1811

n
Bupati Masa Pemerintahan Inggris
1811 - 1815

o
Bupati Kerajaan Nederland
1815 - 1828

p
Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung
1828 - 1833

q
Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit
1833 - 1834

r
Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja
1834 - 1836

s
Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih
1836 - 1882

t
Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah
1882 - 1919

u
Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang
1919 - 1937

v
Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri
1937 - 1942

w
Bupati Masa Pemerintahan Jepang
1942 - 1945

x
Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia
1945 - 1946
4

Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia


a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1946 - 1947
5

Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia


a
Raden Tumenggung M. Singer
1947 - 1949
6

Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan


a
Raden Hasan Suria Sacakusumah
1949 - 1950
7

Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia


a
Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia)

b
Raden Abdurachman Kartadipura
1950 - 1951

c
Sulaeman Suwita Kusumah
1951 - 1958

d
Antan Sastradipura
1958 - 1960

e
Muhammad Hafil
1960 - 1966

f
Adang Kartaman
1966 - 1970

g
Drs. Supian Iskandar
1970 - 1972

h
Drs. Supian Iskandar
1972 - 1977

i
Drs. Kustandi Abdurahman
1977 - 1983

j
Drs. Sutarja
1983 - 1988

k
Drs. Sutarja
1988 - 1993

l
Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra
1993 - 1998

m
Drs. H. Misbach
1998 - 2003

n
H. Don Murdono,SH. Msi
2003 - 2008

o
H. Don Murdono,SH. Msi
2008 - 2013



Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)

Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.

Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.

Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling, yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.

Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim. Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri

Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah; menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda. Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.

Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :

    Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
    Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
    Kiyai Demang Watang di Walakung.
    Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
    Santowaan Cikeruh.
    Santowaan Awiluar.

Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun

Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi (Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.

Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.

Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.

Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh: yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi; pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.

Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.

Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut ia memiliki lima belas orang anak:

    Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
    Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
    Kiyai Kadu Rangga Gede
    Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
    Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
    Raden Ngabehi Watang    
    Nyi Mas Demang Cipaku
    Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
    Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
    Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
    Nyi Mas Rangga Pamade
    Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
    Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
    Pangeran Tumenggung Tegalkalong
    Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.

Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati (bupati).


Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol

Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'. Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda, yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede

Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.


Dipati Ukur

Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur, untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu bantuan pasukan dari Jawa.

Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai, bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.

Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.

Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap teman-temannya.

Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati. Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram.

Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju, Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta.

Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam). Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal kepalanya. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa Barat.[2][3]
Pembagian wilayah kerajaan

Setelah habis masa hukumannya, Dipati Rangga Gede diberikan kekuasaan kembali untuk memerintah di Sumedang. Sedangkan wilayah Priangan di luar Sumedang dan Galuh (Ciamis), oleh Mataram dibagi menjadi tiga bagian :

    Kabupaten Sukapura, dipimpin oleh Ki Wirawangsa Umbul Sukakerta, gelar Tumenggung Wiradegdaha/R. Wirawangsa,
    Kabupaten Bandung, dipimpin oleh Ki Astamanggala Umbul Cihaurbeuti, gelar Tumenggung Wirangun-angun,
    Kabupaten Parakanmuncang, dipimpin oleh Ki Somahita Umbul Sindangkasih, gelar Tumenggung Tanubaya.

Kesemua wilayah tersebut berada dibawah pengawasan Rangga Gede (atau Rangga Gempol II), yang sekaligus ditunjuk Mataram sebagai Wedana Bupati (kepala para bupati) Priangan.
Peninggalan budaya

Hingga kini, Sumedang masih berstatus kabupaten, sebagai sisa peninggalan konflik politik yang banyak diintervensi oleh Kerajaan Mataram pada masa itu. Adapun artefak sejarah berupa pusaka perang, atribut kerajaan, perlengkapan raja-raja dan naskah kuno peninggalan Kerajaan Sumedang Larang masih dapat dilihat secara umum di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang letaknya tepat di selatan alun-alun kota Sumedang, bersatu dengan Gedung Srimanganti dan bangunan pemerintah daerah setempat.